Senin, 26 November 2012

Budaya Etis Organisasi

Budaya organisasi pada intinya merupakan sebuah sistem dari nilai-nilai yang bersifat umum. Adapun nilai-nilai personal mulai dikembangkan pada saat awal kehidupan, seperti halnya kepercayaan pada umumnya, tersusun dalam sistem hirarki dengan sifat-sifat yang dapat dijelaskan dan diukur, serta konsekuensi-konsekuensi perilaku yang dapat diamati (Douglas et.al, 2001).

Sistem nilai umum yang dijelaskan oleh Ouchi (1919, 1980) adalah bagian dari keseluruhan budaya organisasi. Nilai-nilai tersebut merupakan inti dari budaya organisasi yang tercermin dalam praktek organisasi. Persepsi terhadap budaya organisasi didasarkan pada kondisi-kondisi yang dialami seseorang dalam organisasinya, seperti penghargaan, dukungan, dan perilaku yang diharapkan diperoleh di organisasi.

Teori-teori sosio-psikologi awal, tentang sistem kepercayaan menjelaskan perubahan nilai sebagai proses kognitif, yaitu bentuk dari kebutuhan dasar manusia terhadap konsistensi kognitif seseorang. Teori-teori sosio-psikologi sekarang ini mengasumsikan bahwa perubahan nilai merupakan proses afektif, bentuk dari
kebutuhan akan kepuasan dirinya yang akan terpenuhi melalui seseorang yang memiliki kompetensi dan moralitas. Perspektif kognitif maupun afektif, keduanya konsisten dengan beberapa studi yang direview oleh Grube et. al (1994). Kedua perspektif tersebut konsisten pula dengan teori tentang sosialisasi dan budaya
organisasi.

Fogarty (1992) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana individu individu dibentuk oleh lingkungan sosial dimana mereka menjadi anggota yang utuh. Sosialisasi mempunyai peranan penting dalam organisasi profesional seperti akuntan publik, dimana baik perilaku karyawan maupun output kinerja yang diharapkan dapat terukur. Organisasi ini harus bergantung pada clan control (Ouchi, 1979, 1980) atau operasi dari nilai umum yang kuat untuk mengendalikan sifat oportunis dan ketidakefisienan yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara tujuan individu dan organisasi.

Dalam perekrutan dan seleksi, aparatur baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi. Oleh karena itu suatu organisasi berniat membantu aparatur baru untuk menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi (Robbins, 1996). Tahap sosialisasi yang paling kritis adalah pada saat memasuki organisasi itu. Inilah pada saat organisasi itu berupaya membentuk orang luar itu menjadi seorang aparatur yang baik.

Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai suatu proses yang terdiri atas tiga tahap; prakedatangan, perjumpaan dan metamorfosis (Maneen dan Schein, 1977). Tahap prakedatangan meliputi semua pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota bergabung dengan organisasi itu. Dalam tahap perjumpaan, aparatur baru tersebut akan melihat seperti apakah organisasi itu sebenarnya dan kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat berbeda. Dalam tahap metamorfosis ini dimana seorang aparatur baru menyesuaikan diri pada nilai dan norma kelompok kerjanya.

Ponemon dan Glazer (1990) menyarankan bahwa sosialisasi di profesi akuntansi pada kenyataanya berawal dari sejak masa kuliah, dimana mereka ditanamkan perilaku dan nilai-nilai profesional. Ponemon (1990, 1992) mengkonfirmasikan adanya mekanisme seleksi dan sosialisasi untuk mengontrol alasan etis pada akuntan publik.


http://eprints.undip.ac.id/17821/1/SYAIKHUL_FALAH.pdf


Komitmen Organisasi

a. Pengertian Komitmen Organisasi

Menurut Mahis dan Jackson (2000) dalam Sopiah (2008: 155) memberikan definisi,
“Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept
organizational goals and desire to remain with the organization”. (Komitmen
organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan
organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi).


Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008: 155) Komitmen kerja sebagai istilah
lain dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku
penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan
sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan
keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional
adalah keinginan anggota organisasi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam
organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi.


Menurut Lincoln (1994) dalam Sopiah, (2008: 155), komitmen organisasional
mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada
organisasi. Blau dan Boal (1995) dalam Sopiah, (2008: 155) komitmen organisasional
didefinisikan sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari
karyawan terhadap organisasi.


Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya:


1. Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari
organisasi,
2. Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna
kepentingan organisasi,
3. Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi.


b. Bentuk Komitmen Organisasi


Kanter (1986) dalam Sopiah (2008: 158), mengemukakan adanya tiga bentuk
komitmen organisasional, yaitu:


1. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen yang
berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi
dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi;
2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota terhadap
organisasi akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di dalam organisasi. Ini
terjadi karena karyawan percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi
merupakan norma-norma yang bermanfaat;
3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota pada norma
anggota organisasi yang memberikan perilaku yang diinginkannya. Norma yang dimiliki
organisasi mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya.


Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1998) dalam Sopiah, (2008: 157) ada tiga
komponen komitmen organisasional, yaitu:


1. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi
karena adanya ikatan emosional;
2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu
organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan lain, atau karena tidak
menemukan pekerjaan lain;
3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan
menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap
organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan.


c. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi


Januarti, (2006: 15) mengemukakan komitmen organisasi terbangun bila tiap
individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan
atau profesi meliputi identification yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan
organisasi, involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa
pekerjaannya adalah menyenangkan, dan loyality yaitu perasaan bahwa organisasi
adalah tempat bekerja dan tempat tinggal.


Menurut David (1997) dalam Sopiah, (2008: 163) mengemukakan empat faktor
yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:


1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,
kepribadian.
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran, tingkat
kesulitan dalam pekerjaan.
3. Karekteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi
(sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja.
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat
komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja
dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja tentu memiliki tingkat komitmen yang
berlainan dalam organisasi.


d. Indikator Komitmen Organisasi


Menurut Mowday (1998) dalam Sopiah (2008: 165) indikator komitmen organisasi
yaitu:
1. Penerimaan terhadap tujuan organisasi.
2. Keinginan untuk bekerja keras.
3. Hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi.



http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_6%20apr_2011.pdf

Kebudayaan sebagai Struktur

Dalam memahami kebudayaan, terdapat berbagai teori untuk menjelaskannya, diantaranya teori strukturalisme dan teori semiotika. Teori strukturalisme melihat gejala budaya sebagai sebuah struktur sementara teori semiotika melihat kebudayaan sebagai sistem tanda.

Dua perspektif teori di atas, memandang bahwa kebudayaan bisa dipahami dengan melakukan proses pemaknaan terhadap gejala budaya tersebut. Denis & Peron (1999) melihat kebudayaan: “the system of shared meanings that is based on a signfying orders.” Mengenai Shared meanings ini, Schift and Noy menyebutnya “…a very basic aspect of our experience”. 

Lebih lanjut, Schift dan Noy menyebutkan ada dua fungsi untuk menggambarkan shared meanings ini yaitu melalui interpretation dan communication. Dalam artikel ini ingin dicoba dijelaskan kebudayaan dari perspektif kedua teori tersebut.

Teori Strukturalisme dan Semiotik
Pemikiran strukturalisme sering dihubungkan dengan seorang pemikir, yaitu Ferdinand de Saussure yang berpengaruh dalam jangka waktu antara tahun 1950-1960. Sesuai namanya, strukturalisme berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku. Menurut Benny H. Hoed, Strukturalisme tidaklah berusaha menyoroti mekanisme sebab akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep, bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Fokus utama strukturalisme terletak pada analisis relasi antara berbagai unsur, bukan pada hakikat unsur tersebut. Relasi tersebut disebut oleh Saussure sebagai bentuk relasi sintagmatik.

Berbicara struktur, tidak lepas dari dari pembicaraan konsep lain yaitu sistem. Menurut Benny H. Hoed, sistem adalah jejaring yang menghubungkan antara unsur suatu struktur dengan entitas di luar struktur yang bersangkutan. Relasi ini disebut oleh Saussure dengan relasi paradigmatik.

Dalam memahami strukturalisme ini, Fages yang dikutip Noth (1995) mengemukakan bahwa analisis struktural biasanya mengikuti sebagaian atau keseluruhan dari ketujuh kaidah yang disebutkannya, yaitu: Imanensi, Pertinensi, Komutasi, Kompatibilitas, Integrasi, Sinkroni sebagai dasar analitis diakronis, dan fungsi.
Berbeda dengan strukturalisme, semiotika menurut Saussure adalah ilmu yang mengkaji tentang fenomena tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dari definisi tersebut, kajian semiotika akan bergantung kepada aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat manusia. Dengan demikian, semiotika membimbing seseorang kepada pemahaman atas sebuah tanda dengan berdasarkan konsensus masyarakat manusia.
Dalam memahami kebudayaan, semiotika dapat mengungkap berbagai jenis tanda yang digunakan untuk mengirimkan pesan, inilah yang oleh Danesi & Perron (1999) disebut the signifying orders. Menurutnya, kajian semiotika tidak hanya membahas persoalan bahasa tetapi bisa juga aspek lain, seperti warna, body language, dan lain-lain. Dalam melakukan penelitian kebudayaan dengan menggunakan pendekatan semiotika, Danesi & Peron (1999) membagi tiga dimensi yang dihubungkan dengan axis kepertamaan, kekeduaan, dan keketigaan., yaitu temporal meliputi unsur waktu sinkronik, diakronik dan dinamik; notational meliputi denotatif, konotatif, dan annotatif; dan structural meliputi paradigmatik, sintagmatik, dan analogi.
Berkaitan dengan strukturalisme dan semiotik ini, Noth (1990: 258-386) mengungkapkan bahwa pada tahap tertentu perkembangan strukturalisme berujung pada semiotik. Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik ini terbagi dua. Pertama, semiotik yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalisme masih terlihat sangat kental atau nampak terlihat sebagai kelanjutan dari strukturalisme. Sudut pandang kelompok ini sering dikenal sebagai dikotomis atau diadik. Kelompok ini diwakili salah satunya oleh Saussure yang melihat semiotik sebagai sistem tanda, terdiri dari dua muka yaitu signifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Kedua, semiotik yang sifatnya mulai meninggalkan sifat-sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda. Kelompok kedua ini sering dikenal dengan kelompok trikotomis atau triadik. Kelompok ini bisa dilihat dari gagasannya Peirce yang menyebutkan bahwa jagat raya ini terdiri dari atas tanda-tanda (signs), disebut oleh Noth (1995) sebagai pansemiotik. Prinsip dasar dari pandangan Peirce ini disebutkan oleh Benny H. Hoed (dalam Tommy Christomy, 2002:21) bahwa tanda bersifat representatif, yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.

Lebih lanjut, Peirce (dalam Tommy Cristomy, 2004:117) melihat tanda bukan sebuah strukutur, tetapi proses pemaknaan tanda sebagai suatu proses kognitif. Proses ini disebut sebagai semiosis. Proses pemaknaan tanda ini mengikuti hubungan antara tiga titik, yaitu Represantemen (R), Objek (O), dan Interpretable (I). Hubungan ini bersifat Unlimited semiosis. Selain pola hubungan tersebut, Pierce membagi tiga jenis tanda yaitu Icon, Index, dan Syimbol.

Pada perkembangannya, sekalipun semiotik diklaim sebagai salah satu ujung strukturalisme, namun terdapat perbedaan yang mendasar antara kajian strukturalisme dan semiotik. Para semiolog melihat bahwa kajian strukuralisme bersifat idealistik dan tertutup dalam strukturnya. Strukturalisme hanya mengenal relasi sintagmatik (relasi im presantia) dan relasi paradigmatik (relasi in absensia).

Adapun semiotik lebih terbuka dan mengusulkan bahwa sistem tanda mempunyai hubungan erat dengan realitas. Semiolog seperti Peirce memandang bahwa pemberian makna (signifikasi) menjadi penting ketika manusia berhadapan dengan realitas seperti memberi nama pada benda dan Eco menyebutkan dunia merupakan opera operta, memperlihatkan bahwa kognisi dan emosi manusia berperan aktif, demikian diungkap Benny H. Hoed (dalam Tommy Cristommy, 2002:23).

Managemen Perusahaan Investasi


         Perusahaan investasi (reksadana) (PI):  intermedi-asi keuangan (FI) yang mengumpulkan sumber-daya keuangan individu & perusahaan2, & menginvestasikan sumberdaya keuangan tersebut dalam portofolio aset-aset yang terdiversifikasi. Setiap sekuritas (saham) yang diterbitkan perusaha-an investasi mewakili suatu proporsi kepemilikan dalam sekuritas portofolio yang dikelola untuk kepentingan (atas nama) para pemegang saham perusahaan investasi tsb.Pendirian PI ditujukan untuk menyediakan kesempa-tan bagi para investor kecil untuk berinvestasi dalam sekuritas2 keuangan & mendiversifikasi risiko.Dengan berinvestasi pada reksadana, para investor juga dapat menikmati skala ekonomis dengan menanggung biaya2 transaksi & komisi yang rendah.Prinsip investasi yang digunakan oleh manajer investasi: membentuk portofolio yang efisien & optimal.

Arti penting Manajemen PI:
1. Dana yang dikelola manajer investasi relatif besar.
2. Jenis reksadana yang berbeda akan membutuhkan pengelolaan yang berbeda.
3. Persaingan dengan lembaga keuangan lain dalam mengumpulkan dana.
            4. Munculnya peluang investasi di pasar keuangan global menuntut keahlian khusus
 

         Manajemen Perusahaan Investasi: proses pengambilan keputusan keuangan dalam perusahaan investasi dalam rangka mencapai tujuan. Tujuan Manajemen PI:
1. Pertumbuhan
2. Mendapat keuntungan
3. Keseimbangan,
4. Ekuitas,
5. Apresiasi modal, & 
6. Beroperasi secara internasional.


Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib paling kurang
mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1) Investasi;
2) Manajemen risiko;
3) Kepatuhan;
4) Pemasaran;
5) Perdagangan (dealing);
6) Penyelesaian transaksi Efek;
7) Penanganan keluhan investor.
8) Teknologi informasi; dan
9) Pengembangan sumber daya manusia.


Apa yang kita kerjakan pasti memerlukan biaya ,Biaya utama perusahaan investasi

1. Biaya operasional (gaji dewan direksi, dsb.),
2. Fee bagi penasehat keuangan,
3. Biaya penjualan dan pemasaran,
4. Fee jasa pengawasan dan akuntansi,
5. Biaya-biaya transaksi investasi, dan
6. Biaya pajak, sebagai badan usaha.


http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_investasi


http://warsono.staff.umm.ac.id