Rabu, 16 Januari 2013

Kearifan Lokal sebagai Fenomena Keilmuan

Analisis Metodologis: Analogi dengan Indigenous Psychology 

     Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli.

    Secara metodologis, pembentukan indigenous psychology masih meminjam metode-metode ilmiah yang lazim dipakai sampai saat ini dengan mengkontekstualisasikan teori-teori yang ada dengan kecenderungan-kecenderungan lokal yang berkembang. Pada tahap ini, operasionalisasi teori-teori yang ada dikembangkan atau dimodifikasi menurut karakter-karakter masyarakat dan kepentingan lokal. Hal ini penting dipahami karena ketika berbicara tentang keilmuan kita tidak bisa lepas dari teori-teori Barat yang secara faktual telah mengembangkan tradisi ilmiah lebih awal. Dengan demikian, sebagai usaha awal masih perlu untuk menggunakan teori-teori Barat sebagai pendekatan.

    Selanjutnya, titik berat metodologis penelitian tidak lagi kuantitatif murni, tetapi lebih mengarah pada penelitian kualitatif atau kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena basis teori belum dimiliki dalam khazanah kearifan lokal, maka melalui teori-teori Barat kemudian dilakukan pendalaman-pendalaman. Pendalaman ini mengacu dan mengikuti gerak dan kepentingan masyarakat setempat. Ciri pendalaman ini menjadi karakteristik utama dalam penelitian kualitatif. Melalui pendalaman-pendalaman dapat diangkat khazanah keilmuan dari kearifan-kearifan lokal yang berkembang dan bersifat ilmiah.

Analisis Aras Individual: Sistem Kognisi Kita 

     Untuk memahami bagaimana kearifan lokal berkembang dan tetap bertahan, maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses di atas sebagai berikut.

a. Selective Attention 

     Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti selalu berhadapan dengan banyak stimulus sehingga para ahli jiwa sepakat bahwa semua stimulus tidak mungkin untuk diproses. Oleh karena itu, individu dalam menghadapi banyaknya stimulus tersebut akan melakukan apa yang disebut sebagai selective attention. Selective attention merupakan proses tempat seseorang melakukan penyaringan terhadap stimulus yang dianggap sesuai atau yang mampu menyentuh perasaan. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka harus belajar bagaimana caranya membatasi jumlah informasi yang kita terima dan diproses.

     Terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi-informasi yang diterima dan diproses. Dalam kehidupan pesantren, terdapat banyak informasi-informasi ajaran-ajaran mengenai tata cara berperilaku santri yang berasal dari kitab-kitab kuning. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka kita perlu membatasi informasi-informasi yang masuk dengan menetapkan beberapa informasi untuk kita terima, misalnya santri hanya memilih sikap tawadlu’, sederhana, ikhlas, patuh, dan sebagainya.

b. Appraisal 

     Beberapa stimulasi yang telah dipilih secara konstan akan dinilai. Penilaian merupakan proses evaluasi terhadap stimulus yang dianggap memiliki arti bagi kehidupan seseorang dan yang mampu menimbulkan reaksi-reaksi emosional. Hasil penilaian ini adalah keputusan yang berupa respon-respon individu, yang oleh Lazarus disebut coping (penyesuaian). Proses ini relevan dengan ter-bentuk nya pengetahuan atau kearifan lokal karena pemilihan terhadap informasi yang masuk lebih menekankan pada pertimbangan berguna bagi kehidupan mereka.

     Terkait dengan pembentukan dan berkembangnya kearifan lokal ini, maka proses appraisal ini menyediakan sebuah mekanisme kejiwaan di mana kita secara aktif menilai informasi yang masuk dan kita proses hanya yang bermakna bagi kita. Misalnya dalam kehidupan pesantren, seorang santri menilai dari sekian ajaran tentang tingkah-laku, maka yang dianggap bermakna hanya kepatuhan dan kebersamaan.

c. Concept Formation and Categorization 

    Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. Oleh karena itu, melalui mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi informasi-informasi, membuat keputusan-keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep tersebut.

     Kategorisasi adalah proses tempat konsep-konsep psikologis dikelompokkan. Studi mengenai pembentukan kategori melibatkan pengujian bagaimana seseorang mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa, benda-benda, aktivitas-aktivitas ke dalam konsep-konsep. Pembentukan konsep dan kategorisasi memberikan cara untuk mengatur perbedaan dunia sekeliling kita menjadi sejumlah kategori-kategori tertentu. Kategori-kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat tertentu dan objek yang kita rasa atau serupa secara kejiwaan.

     Terkait dengan pembentukan dan berkembangan kearifan lokal, maka pada bagian pembentukan konsep dan kategorisasi ini menyediakan kepada kita cara-cara untuk mengorganisasikan perbedaan ajaran-ajaran tingkah-laku yang ada di sekitar kita ke dalam sejumlah kategori berdasarkan kepentingan tertentu. Misalnya kepatuhan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang akan menuntut ilmu dengan seorang kiai dan kebersamaaan adalah cara bertingkah-laku santri sebagai orang yang hidup jauh dari orangtua dan merasa senasib seperjuangan.

d. Attributions 

     Satu karakteristik umum dari manusia adalah perasaan butuh untuk menerangkan sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau peristiwa lainnya. Attribution ini membantu kita untuk menyesuaikan informasi baru mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru dengan cara lama dalam memahami sesuatu.

     Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian attribution ini menyediakan fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kita untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang bermakna bagi kita secara kejiwaan dengan mengontrol antara intention (niat) dengan perilaku. Misalnya pilihan perilaku patuh santri itu penting bagi seorang yang sedang menuntut ilmu karena kepatuhan santri terhadap kiai akan berimplikasi pada kepatuhan santri terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan kiai sehingga muncul kecenderungan (niat) untuk melaksanakan apapun yang diajarkan kiai.

e. Emotion 

     Emosi adalah motivator yang paling penting dari perilaku kita yang dapat mendorong seseorang untuk lari jika takut dan memukul jika sedang marah. Emosi adalah perangkat penting yang terbaca untuk memberitahu kepada kita cara untuk menginterpretasikan peristiwa dan situasi di sekeliling kita pada saat kita melihatnya.

     Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian emotion ini menyediakan kepada kita dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai kebutuhan kita. Misalnya apapun yang diajarkan kiai itu pasti baik dan membawa barokah (kebaikan) sehingga dapat mendorong santri selalu mengamalkan ajaran-ajaran kiai. Kebutuhan mendapatkan barokah dari kiai seolah menjadi motivator bagi santri untuk selalu patuh kepada kiai.

     Semua proses kejiwaan di atas, merupakan proses yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat digambarkan rangkaian kejiwaan pembentukan dan berkembanganya kepatuhan. Kepatuhan sebagai informasi umum menjadi informasi khusus, yaitu kepatuhan sebagai sistem motivator nilai dalam diri santri untuk melakukan aktivitas-aktivitas selama di pesantren. Kepatuhan sebagai bantuk kearifan lokal yang berlaku di pesantren dapat menjadi energi potensial untuk proses transfer dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui kiai sebagai model yang dipatuhi.

Analisis Aras Kelompok: Human Ecology Theory 

     Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa kearifan lokal mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memiliki pemahaman yang sama mengenai sesuatu. Pemahaman bersama mengenai sesuatu itu terbentuk dari proses yang sama pula di mana mereka berinteraksi dalam lingkungan yang sama. Pemahaman yang sama mengenai sesuatu ini dapat terjadi karena pada dasarnya setiap lingkungan pasti memiliki setting tertentu mengenai hubungan-hubungan ideal kelompok mereka. Setting inilah sebenarnya yang menjadi ruh dari tingkah-laku masyarakat.

     Menurut teori human ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan tingkah-laku. Lingkungan dapat mempengaruhi tingkah-laku atau sebaliknya, tingkah-laku juga dapat mempengaruhi lingkungan. Penekanan teori ini adalah adanya setting dalam lingkungan. Lingkungan tersusun atas struktur-struktur yang saling mempengaruhi di mana dalam struktur-struktur tersebut terdapat setting-setting tertentu pula.

     Satu hal yang menarik dari teori ini adalah pengakuan adanya set tingkah-laku (behavioral setting) yang dipandang sebagai faktor tersendiri dalam sebuah interaksi sosial. Set tingkah-laku yang dimaksud di sini adalah set tingkah-laku kelompok (bukan tingkah-laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu).Set tingkah-laku ini muncul sebagai respon dari kondisi lingkungan yang ada, misalnya dalam lingkungan pesantren telah disusun pola interaksi kiai/guru dan santri, kiai adalah model bagi santrinya dan santri harus mengikuti modelnya.

     Susunan pola interaksi di atas mampu memunculkan set tingkah-laku santri yang menjadikan kiai sebagai suri tauladannya sehingga segenap ucapannya harus dipatuhi. Jika ada salah seorang dalam kelompok itu tidak mengikuti set tingkah-laku yang ada, maka terganggulah lingkungan itu. Setiap orang akan membicarakan atau memarahi anak yang tidak mengikuti set tingkah-laku kelompok tersebut, bahkan anak itu bisa dikeluarkan dari pesantren. Dengan demikian, dengan menggunakan pendekatan teori human ecology dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal muncul sebagai reaksi kelompok terhadap lingkungannya sehingga terjadi keseimbangan hidup dalam kelompok tersebut.


http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf

Prinsip Kearifan Lokal Pada Arsitektur Rumah Tinggal ‘Suku Sasak’

     Upaya penggalian nilai-nilai ‘kearifan lokal’ pada masyarakat suku Sasak yang tinggal dibagian barat  pulau Lombok, maka sebelumnya kita perlu membahas latar-belakang sosio-budaya, sosi-ekonomi dan juga sosio-ekologis dari masyarakatnya. Suku ‘Sasak’ adalah suku asli pulau Lombok, yang mendiami sebagian daerah di sebelah barat Pulau Lombok - sekitar Kabupaten Lombok Barat, disebelah utara, timur dan selatan dari wilayah Kotamadya Mataram (radius 20-25 km) di propinsi NTB. Agama asal suku Sasak adalah animism dan dinamisme kemudian sekarang mayoritas sudah beragama Islam. Tetapi pengaruh dari budaya Hindu (terutama dalam tata bangunan / arsitektur) ada kemiripan atau pengaruh dari Bali.

     Suku Sasak sudah dari dulu kala dikenal sebagai salah satu suku di wilayah Nusantara (ketika itu masuk de dalam wilayah kerajaan Majapahit), dalam buku Negara Kertagama, karangan empu Nala, telah disebutkan suku yang mendiami pulau Lombok yaitu : ‘Lomboq Mirah Sak-sak Adhi’. Dalam masyarakat suku Sasak, sudah terdapat system budaya masyarakat yang terbilang mapan. Dalam perjalanannya suku Sasak sampai saat sekarang ini masih tetap eksis dengan bentuk budaya dan adat istiadatnya. Salah satu bukti dari bentuk kebudayaan yang sudah mapan tersebut yaitu: adanya bentuk bangunan (arsitektur) rumah tinggalnya.

 Photo 01 :Gambar Rumah Tradisional Suku Sasak – Pulau Lombok NTB. (penutup atap : rumbia atau jerami)

 Photo 02 : Bangunan Lumbung – Tempat Penyimpanan Beras atau Ketan, disebelah Rumah.

     Dalam masyarakat suku Sasak – ‘Rumah’ mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat individu dan keluarganya berlindung secara jasmani dari gangguan alam sekitar dan memenuhi kebutuhan spiritualnya untuk beribadah kepada Tuhan YMK. Karena itu, jika kita memperhatikan bangunan rumah adat secara seksama, maka kita akan menemukan bahwa rumah adat dibangun berdasarkan nilai ‘keindahan’ (aspek estetika) dan adanya nilai-nilai ‘kearifan lokal’ (local wisdom) masyarakatnya. Demikian pula halnya seperti rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Orang Sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan juga tempat penyelenggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.

     Atap rumah Sasak terbuat struktur dan konstruksi kayu secara bersilang dan ber-jurai, guna menahan beban penutup atap, sedangkan bahan penutup atap terbuat dari jerami (batang padi yang dikeringkan) atau rumbia (batang-batang rerumputan yang ada di tempat sekitar). Sedangkan dinding rumah terbuat dari : bahan jerami atau anyaman bambu (bedek). Struktur utama bangunan – ditopang oleh empat buah tiang utama (saka) dimana lantai ruangan rumah dibuat agak tinggi dari permukaan tamah – yaitu sekitar 1,5 hingga 2,0 meter diatas pondasi. Lantai permukaan tanah dibawah bangunan dibuat dari ‘tanah liat’ yang dicampur dengan kotoran kerbau / sapi dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau /sapi ini membuat lantai tanah menjadi keras - sekeras semen.

Photo 03 : Bahan Penutup Atap & Dinding Rumah Suku Sasak – P.Lombok.

Photo 04 : Sketsa Kajian Bentuk Lumbung Beserta Konstruksi & Bahan Bangunan.

     Seluruh bahan bangunan yang digunakan untuk mendirikan atau membangun rumah adat adalah : kayu dan bambu. Untuk membuat rumah adat Sasak – bahan bangunan didapatkan dari lingkungan sekitar mereka tinggal dan merupakan bahan yang ada di lingkungan sekitar mereka, bukan bahan-bahan yang ‘asing’ yang tidak dikenal alam lingkungan sekitar. Bahkan untuk menyambung bagian - bagian kayu dari rumah adat tersebut, mereka menggunakan ‘paku’ yang terbuat dari bamboo – yang disebut ‘pasak’ dan ‘paku’. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, serta hanya meliki satu jendela (ukuran kecil – tidak terlalu besar).

     Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan (separuh bentuk oval), menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.

     Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/sapi/kuda, getah, dan abu jerami.

    Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa macam, diantaranya adalah: (a) Bale Tani, (b) Bale Jajar, (c) Berugaq / Sekepat, (d) Sekenam, (e) Bale Bonter, (f) Bale Beleq Bencingah, dan (g) Bale Tajuk. Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing tempat. Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.

     Dalam masyarakat suku Sasak, rumah berada dalam dimensi ‘sakral’ (suci) dan dimensi ‘profan’ (duniawi) secara bersamaan. Hal ini mempuyai arti bahwa : rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga dari gangguan alam sekitar juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sacral (ibadah keagamaan) yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan YMK, arwah nenek moyang (papuk-baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya.

     Perubahan pengetahuan masyarakat akibat perkembangan zaman, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya, seperti : faktor keamanan, geografis, dan topografis, dsb. menyebabkan terjadinya perubahan ‘fungsi’ dan ‘bentuk fisik’ rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti aspek : arsitektur, tata ruang, dan pola tata letak dalam lahan (site) - tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis (ajaran-ajaran dalam bentuk nilai kearifan local) yang ditransmisikan secara turun temurun.

     Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern, para orang tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendak membangun rumah dengan ungkapan: “Kalau mau tetap tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-kampung lain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini.” Demikianlah cara orang dari suku Sasak menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. (lihat : www://http: wahana-budayaindonesia.com/…. /index.php/sasak/arsitektur-rumah adat. )

     Nilai-nilai ‘kearifan lokal’ (local wisdom) yang termuat dalam arssitektur rumah tinggal tradisional suku Sasak adalah: (a) penggunaan bahan bangunan yang ramah dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, bahan bangunan dibuat sesuai atau serasi dengan potensi alam yang mereka miliki, tanpa harus mencari-cari bahan lain dari luar daerah atau wilayah, (b) struktur dan konstruksi bangunan yang digunakan adalah struktur kayu sederhana dengan kolom utama berupa empat buah tiang (saka) terbuat dari kayu, beban atau berat dari bangunan dibuat ‘ringan’ dengan menggunakan sub-struktur lantai kayu serta bahan penutup atap terbuat dari bahan jerami atau rumbia.


sumber :

http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/1615/TA001.pdf?sequence=1
http://raja-alamnews.blogspot.com/2012/03/rumah-tradisional-suku-sasak-indonesia.html
http://sasaklc.blogspot.com/2010/08/rumah-adat-sasak-filosofi.html
http://lil-queen-rina.blogspot.com/2011/10/taman-mini-indonesia-indah-tmii.html
http://haries-lombokcity.blogspot.com/

Implementasi dan Dinamika Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Implementasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air 

     Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan salah satu budaya pamali yang sangat ditekankan di Kampung Kuta.

     Untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat pemandian umum, menggunakan selang plastik/paralon dan bambu ke tempat penampungan atau pemandian umum. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Pemasanganan selang/paralon harus dilakukan dari hulu ke hilir sehingga air dapat mengalir dengan baik. Berdasarkan pernyataan Bapak Krmn diatas, tahap pemasangan selang/paralon yaitu:

1. Melakukan penggalian tanah sekitar lima puluh sentimeter.
2. Memasukkan selang/paralon pada galian tersebut.
3. Menimbun selang/paralon tersebut menggunakan batu atau ijuk. Batu atau ijuk digunakan agar selang   tertahan dan tidak keluar dari galian tersebut.
4. Untuk mengalirkan air, selang/paralon yang digunakan sekitar lima sampai sepuluh lente (satu lente sama dengan empat meter).

     Terdapat empat orang yang sudah menggunakan jet pump (Sanyo) untuk menarik air. Mata air yang ditarik menggunakan Sanyo adalah mata air Cibungur, salah satunya dimanfaatkan oleh Bapak Krmn (Ketua Adat) untuk menarik air ke samping rumahnya dan pemandian umum untuk tamu di dekat Pasanggrahan. Mayoritas masyarakat Kampung Kuta lebih memilih untuk memanfaatkan air yang ada di pemandian umum. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar sudah terbiasa untuk pergi ke pemandian umum meskipun letaknya jauh dari rumah.

    Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang terdapat di dalam Hutan Keramat. Selain digunakan untuk membasuh diri, air dari kawah danCiasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol. Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengahnya lagi untuk dipenuhi dengan air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan. Harus terus diminum. Sumberdaya air yang terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh yang ditemani oleh kuncen.Pengelolaan Hutan Keramat merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya air yang ada di dalamnya. Sumberdaya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebuthan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebebkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam Hutan Keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya Budaya pamali dalam pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelstarian ekosistem di dalamnya maka, sumberdaya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik.

Dinamika Kearifan Lokal 

     Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan.

    Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.

Implikasi Kearifan Lokal 

    Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian hutan dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Masyarakat secara sadar melakukan pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan secara turun-temurun. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali yaitu:

1. Melestarikan rumah adat dusun Kuta.
2. Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya.
3. Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman tahunan sekitar mata air. 4. Melestarikan kesenian setempat seperti Ronggeng Tayub, Terbang, dan Gondang Buhun.
5. Melestarikan upacara adat setempat yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.

    Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur, dan pelarangan menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian sumberdaya alam.

    Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyakat Kampung Kuta memberikan hasil dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah membawa masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional tahun 2002 yang penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali. Manfaat yang dapat dirasakan dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu:

1. Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.
2. Menumbuhkan pola hidup sederhana.
3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan/dikendalikan.
4. Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau airnya tetap tersedia.
5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.
6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.
7. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta.


sumber : http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/3%20Tia%20Oktaviani.pdf