Dua perspektif teori di atas, memandang
bahwa kebudayaan bisa dipahami dengan melakukan proses pemaknaan
terhadap gejala budaya tersebut. Denis & Peron (1999) melihat
kebudayaan: “the system of shared meanings that is based on a signfying
orders.” Mengenai Shared meanings ini, Schift and Noy menyebutnya “…a
very basic aspect of our experience”.
Lebih lanjut, Schift dan Noy menyebutkan
ada dua fungsi untuk menggambarkan shared meanings ini yaitu melalui
interpretation dan communication. Dalam artikel ini ingin dicoba
dijelaskan kebudayaan dari perspektif kedua teori tersebut.
Teori Strukturalisme dan Semiotik
Pemikiran strukturalisme sering dihubungkan dengan seorang pemikir, yaitu Ferdinand de Saussure yang berpengaruh dalam jangka waktu antara tahun 1950-1960. Sesuai namanya, strukturalisme berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku. Menurut Benny H. Hoed, Strukturalisme tidaklah berusaha menyoroti mekanisme sebab akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep, bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Fokus utama strukturalisme terletak pada analisis relasi antara berbagai unsur, bukan pada hakikat unsur tersebut. Relasi tersebut disebut oleh Saussure sebagai bentuk relasi sintagmatik.
Pemikiran strukturalisme sering dihubungkan dengan seorang pemikir, yaitu Ferdinand de Saussure yang berpengaruh dalam jangka waktu antara tahun 1950-1960. Sesuai namanya, strukturalisme berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku. Menurut Benny H. Hoed, Strukturalisme tidaklah berusaha menyoroti mekanisme sebab akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep, bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Fokus utama strukturalisme terletak pada analisis relasi antara berbagai unsur, bukan pada hakikat unsur tersebut. Relasi tersebut disebut oleh Saussure sebagai bentuk relasi sintagmatik.
Berbicara struktur, tidak lepas dari
dari pembicaraan konsep lain yaitu sistem. Menurut Benny H. Hoed, sistem
adalah jejaring yang menghubungkan antara unsur suatu struktur dengan
entitas di luar struktur yang bersangkutan. Relasi ini disebut oleh
Saussure dengan relasi paradigmatik.
Dalam memahami strukturalisme ini, Fages
yang dikutip Noth (1995) mengemukakan bahwa analisis struktural
biasanya mengikuti sebagaian atau keseluruhan dari ketujuh kaidah yang
disebutkannya, yaitu: Imanensi, Pertinensi, Komutasi, Kompatibilitas,
Integrasi, Sinkroni sebagai dasar analitis diakronis, dan fungsi.
Berbeda dengan strukturalisme, semiotika
menurut Saussure adalah ilmu yang mengkaji tentang fenomena tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dari definisi tersebut, kajian
semiotika akan bergantung kepada aturan-aturan yang berlaku pada
masyarakat manusia. Dengan demikian, semiotika membimbing seseorang
kepada pemahaman atas sebuah tanda dengan berdasarkan konsensus
masyarakat manusia.
Dalam memahami kebudayaan, semiotika
dapat mengungkap berbagai jenis tanda yang digunakan untuk mengirimkan
pesan, inilah yang oleh Danesi & Perron (1999) disebut the
signifying orders. Menurutnya, kajian semiotika tidak hanya membahas
persoalan bahasa tetapi bisa juga aspek lain, seperti warna, body
language, dan lain-lain. Dalam melakukan penelitian kebudayaan dengan
menggunakan pendekatan semiotika, Danesi & Peron (1999) membagi tiga
dimensi yang dihubungkan dengan axis kepertamaan, kekeduaan, dan
keketigaan., yaitu temporal meliputi unsur waktu sinkronik, diakronik
dan dinamik; notational meliputi denotatif, konotatif, dan annotatif;
dan structural meliputi paradigmatik, sintagmatik, dan analogi.
Berkaitan dengan strukturalisme dan
semiotik ini, Noth (1990: 258-386) mengungkapkan bahwa pada tahap
tertentu perkembangan strukturalisme berujung pada semiotik.
Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik ini terbagi dua. Pertama,
semiotik yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalisme
masih terlihat sangat kental atau nampak terlihat sebagai kelanjutan
dari strukturalisme. Sudut pandang kelompok ini sering dikenal sebagai
dikotomis atau diadik. Kelompok ini diwakili salah satunya oleh Saussure
yang melihat semiotik sebagai sistem tanda, terdiri dari dua muka yaitu
signifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Kedua, semiotik yang sifatnya mulai
meninggalkan sifat-sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan
kebudayaan sebagai sistem tanda. Kelompok kedua ini sering dikenal
dengan kelompok trikotomis atau triadik. Kelompok ini bisa dilihat dari
gagasannya Peirce yang menyebutkan bahwa jagat raya ini terdiri dari
atas tanda-tanda (signs), disebut oleh Noth (1995) sebagai pansemiotik.
Prinsip dasar dari pandangan Peirce ini disebutkan oleh Benny H. Hoed
(dalam Tommy Christomy, 2002:21) bahwa tanda bersifat representatif,
yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.
Lebih lanjut, Peirce (dalam Tommy Cristomy, 2004:117) melihat tanda bukan sebuah strukutur, tetapi proses pemaknaan tanda sebagai suatu proses kognitif. Proses ini disebut sebagai semiosis. Proses pemaknaan tanda ini mengikuti hubungan antara tiga titik, yaitu Represantemen (R), Objek (O), dan Interpretable (I). Hubungan ini bersifat Unlimited semiosis. Selain pola hubungan tersebut, Pierce membagi tiga jenis tanda yaitu Icon, Index, dan Syimbol.
Pada perkembangannya, sekalipun semiotik diklaim sebagai salah satu ujung strukturalisme, namun terdapat perbedaan yang mendasar antara kajian strukturalisme dan semiotik. Para semiolog melihat bahwa kajian strukuralisme bersifat idealistik dan tertutup dalam strukturnya. Strukturalisme hanya mengenal relasi sintagmatik (relasi im presantia) dan relasi paradigmatik (relasi in absensia).
Adapun semiotik lebih terbuka dan
mengusulkan bahwa sistem tanda mempunyai hubungan erat dengan realitas.
Semiolog seperti Peirce memandang bahwa pemberian makna (signifikasi)
menjadi penting ketika manusia berhadapan dengan realitas seperti
memberi nama pada benda dan Eco menyebutkan dunia merupakan opera
operta, memperlihatkan bahwa kognisi dan emosi manusia berperan aktif,
demikian diungkap Benny H. Hoed (dalam Tommy Cristommy, 2002:23).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar