Senin, 26 November 2012

Kebudayaan sebagai Struktur

Dalam memahami kebudayaan, terdapat berbagai teori untuk menjelaskannya, diantaranya teori strukturalisme dan teori semiotika. Teori strukturalisme melihat gejala budaya sebagai sebuah struktur sementara teori semiotika melihat kebudayaan sebagai sistem tanda.

Dua perspektif teori di atas, memandang bahwa kebudayaan bisa dipahami dengan melakukan proses pemaknaan terhadap gejala budaya tersebut. Denis & Peron (1999) melihat kebudayaan: “the system of shared meanings that is based on a signfying orders.” Mengenai Shared meanings ini, Schift and Noy menyebutnya “…a very basic aspect of our experience”. 

Lebih lanjut, Schift dan Noy menyebutkan ada dua fungsi untuk menggambarkan shared meanings ini yaitu melalui interpretation dan communication. Dalam artikel ini ingin dicoba dijelaskan kebudayaan dari perspektif kedua teori tersebut.

Teori Strukturalisme dan Semiotik
Pemikiran strukturalisme sering dihubungkan dengan seorang pemikir, yaitu Ferdinand de Saussure yang berpengaruh dalam jangka waktu antara tahun 1950-1960. Sesuai namanya, strukturalisme berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku. Menurut Benny H. Hoed, Strukturalisme tidaklah berusaha menyoroti mekanisme sebab akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada konsep, bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Fokus utama strukturalisme terletak pada analisis relasi antara berbagai unsur, bukan pada hakikat unsur tersebut. Relasi tersebut disebut oleh Saussure sebagai bentuk relasi sintagmatik.

Berbicara struktur, tidak lepas dari dari pembicaraan konsep lain yaitu sistem. Menurut Benny H. Hoed, sistem adalah jejaring yang menghubungkan antara unsur suatu struktur dengan entitas di luar struktur yang bersangkutan. Relasi ini disebut oleh Saussure dengan relasi paradigmatik.

Dalam memahami strukturalisme ini, Fages yang dikutip Noth (1995) mengemukakan bahwa analisis struktural biasanya mengikuti sebagaian atau keseluruhan dari ketujuh kaidah yang disebutkannya, yaitu: Imanensi, Pertinensi, Komutasi, Kompatibilitas, Integrasi, Sinkroni sebagai dasar analitis diakronis, dan fungsi.
Berbeda dengan strukturalisme, semiotika menurut Saussure adalah ilmu yang mengkaji tentang fenomena tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dari definisi tersebut, kajian semiotika akan bergantung kepada aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat manusia. Dengan demikian, semiotika membimbing seseorang kepada pemahaman atas sebuah tanda dengan berdasarkan konsensus masyarakat manusia.
Dalam memahami kebudayaan, semiotika dapat mengungkap berbagai jenis tanda yang digunakan untuk mengirimkan pesan, inilah yang oleh Danesi & Perron (1999) disebut the signifying orders. Menurutnya, kajian semiotika tidak hanya membahas persoalan bahasa tetapi bisa juga aspek lain, seperti warna, body language, dan lain-lain. Dalam melakukan penelitian kebudayaan dengan menggunakan pendekatan semiotika, Danesi & Peron (1999) membagi tiga dimensi yang dihubungkan dengan axis kepertamaan, kekeduaan, dan keketigaan., yaitu temporal meliputi unsur waktu sinkronik, diakronik dan dinamik; notational meliputi denotatif, konotatif, dan annotatif; dan structural meliputi paradigmatik, sintagmatik, dan analogi.
Berkaitan dengan strukturalisme dan semiotik ini, Noth (1990: 258-386) mengungkapkan bahwa pada tahap tertentu perkembangan strukturalisme berujung pada semiotik. Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik ini terbagi dua. Pertama, semiotik yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalisme masih terlihat sangat kental atau nampak terlihat sebagai kelanjutan dari strukturalisme. Sudut pandang kelompok ini sering dikenal sebagai dikotomis atau diadik. Kelompok ini diwakili salah satunya oleh Saussure yang melihat semiotik sebagai sistem tanda, terdiri dari dua muka yaitu signifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Kedua, semiotik yang sifatnya mulai meninggalkan sifat-sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda. Kelompok kedua ini sering dikenal dengan kelompok trikotomis atau triadik. Kelompok ini bisa dilihat dari gagasannya Peirce yang menyebutkan bahwa jagat raya ini terdiri dari atas tanda-tanda (signs), disebut oleh Noth (1995) sebagai pansemiotik. Prinsip dasar dari pandangan Peirce ini disebutkan oleh Benny H. Hoed (dalam Tommy Christomy, 2002:21) bahwa tanda bersifat representatif, yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.

Lebih lanjut, Peirce (dalam Tommy Cristomy, 2004:117) melihat tanda bukan sebuah strukutur, tetapi proses pemaknaan tanda sebagai suatu proses kognitif. Proses ini disebut sebagai semiosis. Proses pemaknaan tanda ini mengikuti hubungan antara tiga titik, yaitu Represantemen (R), Objek (O), dan Interpretable (I). Hubungan ini bersifat Unlimited semiosis. Selain pola hubungan tersebut, Pierce membagi tiga jenis tanda yaitu Icon, Index, dan Syimbol.

Pada perkembangannya, sekalipun semiotik diklaim sebagai salah satu ujung strukturalisme, namun terdapat perbedaan yang mendasar antara kajian strukturalisme dan semiotik. Para semiolog melihat bahwa kajian strukuralisme bersifat idealistik dan tertutup dalam strukturnya. Strukturalisme hanya mengenal relasi sintagmatik (relasi im presantia) dan relasi paradigmatik (relasi in absensia).

Adapun semiotik lebih terbuka dan mengusulkan bahwa sistem tanda mempunyai hubungan erat dengan realitas. Semiolog seperti Peirce memandang bahwa pemberian makna (signifikasi) menjadi penting ketika manusia berhadapan dengan realitas seperti memberi nama pada benda dan Eco menyebutkan dunia merupakan opera operta, memperlihatkan bahwa kognisi dan emosi manusia berperan aktif, demikian diungkap Benny H. Hoed (dalam Tommy Cristommy, 2002:23).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar